Pemerintah berencana menaikan harga BBM bersubsidi pada april 2011. Meski masih dalam kajian, sorotan terhadap kebijakan yang tidak prorakyat it uterus bergulir. Alas an rencana kebijakan ini, katanya untuk penghematan APBN. Jika kebijakan itu dilaksanakan, maka pemerintah akan menghemat dana Rp 3,8 triliun. Alas an lainnya, anggapan bahwa subsidi lebih banyak dipergunakan konsumen kendaraan pribadi roda empat yang dianggap mampu membeli BBM non subsidi.
Pemerintah bisa saja membuat beribu alsan. Namun, jika ditelaah dalam fakta yang tengah terjadi sebenarnya liberalisasi sector migas untuk kepentingan kaum kapitalis terutama asing. Pembatasan BBM bersusidi menjadikan harga bahan bakar nonsubsidi di Pertamina sama dengan SPBU milik perusahaan asing. Dengan demikian SPBU-SPBU asing yang sepi pembeli akan mulai ramai dikunjungi karena tidak ada perbedaan.
Ini merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalis. Dalam kapitalis, Negara sama sekali tidak berkewajiban menjamin kebutuhan public seperti BBM, listrik, pendidikan atau kesehatan masyarakat. Seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Sistem ekonomi kapitalis seperti ini semakin menjerat Indonesia sejak krisis moneter 1997. Pihak yang paling terkena dampak dari kebijakan liberalisasi migas tentu saja rakyat.
Kenaikan arga BBM ini otomatis akan meningkatkan biaya produksi, mulai dari kenaikan harga barang, pengurangan produksi, PHK karyawan dan daya beli masyarakat turun. Ini tentu akan semakin menambah angka kemiskinan. Sudah selayaknya rencana pembatasan atau kenaikan harga BBM bersubsidi ditolak, karena beberapa alas an. Pertama, pembatasan BBM bersubsidi menjadi “jalan tol” menuju liberalisasi migas.
Alas an bahwa subsidi BBM memberatkan APBN juga tidak benar, dalam APBN 2011 ternyata utang luar negeri menjadi beban berat APBN. Anggapan bahwa konsumsi BBM rakyat Indonesia termasuk paling boros adalah salah. Data bank dunia menyatakan bahwa konsumsi BBM Indonesia justru masih nomor 90 di dunia. Pengelolaan BBM di Indonesia tidak proporsional dan tidak efisien akibat adanya broker dan korupsi.
Dalam syariah islam, Negara diwajibkan mengelola migas untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan kepada pihak asing, atau membebani rakyat dengan biaya yang tidak mampu ditanggung rakyat. Migas adalah salah satu kekayaan milik umat.
Rabu, 11 Mei 2011
BBM Nonsubsidi Untungkan Asing
Kebijakan pemerintah membatasi BBM bersubsidi mulai diberlakukan awal april 2011. Bermula di Jabodetabek, kebijakan ini akan merata di seluruh Indonesia pada Juli 2013. Siapa pun dapat menebak apa yang akan terjadi. Rakyat semakin tercekik dan menjerit karena kebutuhan hidup kian melangit.
Penting untuk dijawab, siapa sebenarnya yang akan diuntungkan dengan kebijakan ini? Pemerintah, pengusaha, ataukah pihak asing? Yang jelas, bukanlah rakyat yang diuntungkan. Dengan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, pemerintah akan dapat “menghemat” dana APBN dalam pos subsidi untuk rakyat. Sehingga pemerintah dapat meningkatkan anggaran pelesiran anggota dewan, pembelian mobil dinas, atau pembangunan gedung dewan 36 lantai dengan biaya Rp 1,3 triliun. Ironis memang, tapi demikianlah faktanya. Rakyat harus rela kebahagian hidupnya diwakili para wakil rakyat.
Tak hanya itu, kebijakan inipun sarat kepentingan asing. Tak dapat dipungkiri bahwa pembatasan BBM bersubsidi ini membawa “berkah” bagi perusahaan minyak asing seperti Shell, Total dan Petronas.
Sebab, harga BBM nonsubsidi di SPBU Pertamina tidak akan berbeda jauh dengan SPBU milik perusahaan asing. Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan, baik pelayanan dan kualitas, konsumen bakal berbondong-bondong menyerbu SPBU asing. Mengapa demikian? Karena sebenarnya kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan salah satu konsekuensi dari kerja sama pemerintah dengan pihak asing. Sehingga wajar jika pihak asing pun akan sangat diuntungkan.
Melihat itu semua, rasanya tidak salah jika kita mulai mencari sistem yang benar-benar mensejahterakan rakyat. Jujur harus diakui bahwa apa yang terjadi sekarang adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalis yang menyerahkan kekuasaan dan kedaulatan di tangan manusia. Sehingga begitu mudah pihak-pihak yang berkepentingan membuat aturan demi mewujudkan kepentingannya. Pihak yang bermodal akan mudah mengintervensi aturan yang ada. Berbeda dengan Islam, dimana kedaulatan ada ditangan Syara yang tidak memungkinkan pihak-pihak tertentu mengintervensi aturan.
Sehingga dalam hal pengelolaan Negara, kesejahteraan rakyat menjadi orientasinya, bukan kesejahteraan segelincir orang. Karenanya, sistem Islamlah yang menjadi solusinya.
Penting untuk dijawab, siapa sebenarnya yang akan diuntungkan dengan kebijakan ini? Pemerintah, pengusaha, ataukah pihak asing? Yang jelas, bukanlah rakyat yang diuntungkan. Dengan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, pemerintah akan dapat “menghemat” dana APBN dalam pos subsidi untuk rakyat. Sehingga pemerintah dapat meningkatkan anggaran pelesiran anggota dewan, pembelian mobil dinas, atau pembangunan gedung dewan 36 lantai dengan biaya Rp 1,3 triliun. Ironis memang, tapi demikianlah faktanya. Rakyat harus rela kebahagian hidupnya diwakili para wakil rakyat.
Tak hanya itu, kebijakan inipun sarat kepentingan asing. Tak dapat dipungkiri bahwa pembatasan BBM bersubsidi ini membawa “berkah” bagi perusahaan minyak asing seperti Shell, Total dan Petronas.
Sebab, harga BBM nonsubsidi di SPBU Pertamina tidak akan berbeda jauh dengan SPBU milik perusahaan asing. Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan, baik pelayanan dan kualitas, konsumen bakal berbondong-bondong menyerbu SPBU asing. Mengapa demikian? Karena sebenarnya kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan salah satu konsekuensi dari kerja sama pemerintah dengan pihak asing. Sehingga wajar jika pihak asing pun akan sangat diuntungkan.
Melihat itu semua, rasanya tidak salah jika kita mulai mencari sistem yang benar-benar mensejahterakan rakyat. Jujur harus diakui bahwa apa yang terjadi sekarang adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalis yang menyerahkan kekuasaan dan kedaulatan di tangan manusia. Sehingga begitu mudah pihak-pihak yang berkepentingan membuat aturan demi mewujudkan kepentingannya. Pihak yang bermodal akan mudah mengintervensi aturan yang ada. Berbeda dengan Islam, dimana kedaulatan ada ditangan Syara yang tidak memungkinkan pihak-pihak tertentu mengintervensi aturan.
Sehingga dalam hal pengelolaan Negara, kesejahteraan rakyat menjadi orientasinya, bukan kesejahteraan segelincir orang. Karenanya, sistem Islamlah yang menjadi solusinya.
Ekspor ke Jepang Terganggu
Dampak akibat gempa dan tsunami yang mengguncang Jepang harus diantisipasi pemerintah, baik dampak langsung maupun tidak langsung. Menurut anggota komisi 1V DPR RI dari sisiperdagangan, ekspor-impor Indonesia dengan Jepang bisa terganggu. Padahal Jepang adalah salah satu mitra dagang terpenting Indonesia.
Ia mengatakan, ekspor migas ke Jepang mencapai 33,11% dari total ekspor migas Indonesia. Sementara ekspor nonmigas mencapai 12,71% dari total ekspor nonmigas Indonesia. “Dilihat dari data tersebut, ada kemungkinan bahwa kinerja ekspor kita akan terganggu karena berkurangnya permintaan jepang akan energy dan barang-barang ekspor lainnya. Padahal nilai eksporke jepang itu nomor satu melampaui ekspor kita ke amerika serikat dan cina,”.
Belum lagi dampak tidak langsung, misalnya cina yang ikut kehilangan pasar ekspornya di jepang akan mencari pasar baru. Saat krisis tahun 2008 melanda amerika serikat kondisinya juga sama, kita kebanjiran barang illegal cina karena pasar mereka di amerika sedang lesu. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini.
Sementara dari sisi impor, walaupun impor migas tidak signifikan karena hanya 0,2% dari total impor migas Indonesia, namun impor nonmigas dari jepang mencapai 15,62% dari total impor Indonesia.
Ia mengatakan, ekspor migas ke Jepang mencapai 33,11% dari total ekspor migas Indonesia. Sementara ekspor nonmigas mencapai 12,71% dari total ekspor nonmigas Indonesia. “Dilihat dari data tersebut, ada kemungkinan bahwa kinerja ekspor kita akan terganggu karena berkurangnya permintaan jepang akan energy dan barang-barang ekspor lainnya. Padahal nilai eksporke jepang itu nomor satu melampaui ekspor kita ke amerika serikat dan cina,”.
Belum lagi dampak tidak langsung, misalnya cina yang ikut kehilangan pasar ekspornya di jepang akan mencari pasar baru. Saat krisis tahun 2008 melanda amerika serikat kondisinya juga sama, kita kebanjiran barang illegal cina karena pasar mereka di amerika sedang lesu. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini.
Sementara dari sisi impor, walaupun impor migas tidak signifikan karena hanya 0,2% dari total impor migas Indonesia, namun impor nonmigas dari jepang mencapai 15,62% dari total impor Indonesia.
Dampak Kasus GLA Subsidi KPR RP 2,7 M Terkatung-katung, Akad Kredit Terganjal
SRAGEN—Kasus penyimpan proyek perumahan Griya Lawu Asri (GLA) di Kabupaten Karanganyar ternyata mulai berimbas ke Kabupaten Sragen. Akibat kasus itu, nasib dana subsidi pusat sebesar Rp 2,7 miliar untuk dua proyek Kredit Perumahan Rakyat (KPR) di Bumi Sukowati hingga kini terkatung-katung. Dampak lebih signifikan, menggantungnya dana subsidi membuat pembangunan proyek KPR di Kalijambe dan Singopadu juga tersendat. Bahkan, proyek yang semula ditarget kelar 2009 itu juga terancam tak bisa terselesaikan.
Kepala Pelaksana Proyek yang juga Kepala Badan Diklat Sragen Sumarna mengatakan semestinya, dana subsidi pusat tersebut sudah cair April 2009. Namun seiring badai kasus GLA yang kini ditangani intensif oleh Kejaksaan Tinggi Jateng, dana subsidi untuk Sragen pun ikut terkatung-katung lebih dari setahun. “Gara-gara GLA, pemerintah kan jadi lebih ketat dalam mencairkan subsidi perumahan ke daerah. Nah, Sragen juga kena getahnya karena sampai sekarang subsidi Rp 2,7 miliar belum bisa cair,” paparnya Selasa (13/7). Belum cairnya subsidi, kata dia, membuat proses pembangunan tersendat. Hingga tiga tahun berjalan sejak tahun 2007, proyek tersebut baru bisa menyelesaikan sekitar 650 unit dari 1.027 unit yang ditargetkan.
“Kami sekarang fokus membuat jalan masuk ke proyek. Mau melanjutkan proyek subsidinya belum cair,” terang dia. Dampak lain yang dirasakan dari mencuatnya kasus GLA adalah proses akad kredit calon konsumen yang tersendat. Ini menyusul larangan pelibatan lembaga keuangan daerah untuk dipakai sebagai pihak yang menangani kredit maupun penerima subsidi dari pemerintah.
“Sejak adanya kasus GLA itu, proses akad kredit yang dulu di BPR Syariah sekarang dialihkan ke bank swasta yaitu BTN. Nah, problemnya, persyaratan akad kredit di bank swasta itu lebih rumit dan ketat sehingga banyak calon konsumen yang terganjal dan belum bisa akad,” tambahnya.
Bahkan, saat ini ada 150 calon konsumen yang belum bisa akad kredit meskipun unit yang dipesan sudah siap. Secara keseluruhan, dari 650 unit yang sudah selesai baru sekitar 450 yang sudah lolos akad kredit dan ditempati. (yok)
Kepala Pelaksana Proyek yang juga Kepala Badan Diklat Sragen Sumarna mengatakan semestinya, dana subsidi pusat tersebut sudah cair April 2009. Namun seiring badai kasus GLA yang kini ditangani intensif oleh Kejaksaan Tinggi Jateng, dana subsidi untuk Sragen pun ikut terkatung-katung lebih dari setahun. “Gara-gara GLA, pemerintah kan jadi lebih ketat dalam mencairkan subsidi perumahan ke daerah. Nah, Sragen juga kena getahnya karena sampai sekarang subsidi Rp 2,7 miliar belum bisa cair,” paparnya Selasa (13/7). Belum cairnya subsidi, kata dia, membuat proses pembangunan tersendat. Hingga tiga tahun berjalan sejak tahun 2007, proyek tersebut baru bisa menyelesaikan sekitar 650 unit dari 1.027 unit yang ditargetkan.
“Kami sekarang fokus membuat jalan masuk ke proyek. Mau melanjutkan proyek subsidinya belum cair,” terang dia. Dampak lain yang dirasakan dari mencuatnya kasus GLA adalah proses akad kredit calon konsumen yang tersendat. Ini menyusul larangan pelibatan lembaga keuangan daerah untuk dipakai sebagai pihak yang menangani kredit maupun penerima subsidi dari pemerintah.
“Sejak adanya kasus GLA itu, proses akad kredit yang dulu di BPR Syariah sekarang dialihkan ke bank swasta yaitu BTN. Nah, problemnya, persyaratan akad kredit di bank swasta itu lebih rumit dan ketat sehingga banyak calon konsumen yang terganjal dan belum bisa akad,” tambahnya.
Bahkan, saat ini ada 150 calon konsumen yang belum bisa akad kredit meskipun unit yang dipesan sudah siap. Secara keseluruhan, dari 650 unit yang sudah selesai baru sekitar 450 yang sudah lolos akad kredit dan ditempati. (yok)
Tujuh Parpol Bancakan Dana GLA Rp 12 Miliar 15 Jun 2010
Sekitar Rp 12 miliar dana pembangunan perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri (GLA) di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah mengalir ke tujuh partai politik. Negara diperkirakan mengalami kerugian Rp 15 miliar. "Ketujuh parpol tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Pelopor," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Salman Maryadi, di Semarang, Senin (14/6)."Parpol yang menerima aliran dana korupsi merupakan parpol yang mengusung pasangan calon Bupati Karanganyar Rina Iriani-Paryono pada pemilihan kepala daerah setempat tahun 2008," kata Salman. Aliran dana dengan jumlah terbesar sekitar Rp 1,2 miliar, menurut Salman, diduga mengalir ke PKS, sedangkan enam parpol lainnya hanya menerima dana dalam kisaran ratusan juta rupiah.Ia menjelaskan, informasimengenai tujuh parpol yang diduga menerima aliran dana korupsi GLA itu diperoleh berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang telah diperiksa terkait kasus korupsi GLA. Kejati hari ini (Senin-red.) telah memeriksa Sekretaris DPC Partai Demokrat Kabupaten Karanganyar, Bambang Priyono, dengan status sebagai saksi. Rencananya enam pengurus parpol yang lain juga akan diperiksa
Mengenai keterlibatan Bupati Karanganyar Rina Iriani Salman menolak berkomentar. Kejati telah menetapkan tiga tersangka yaitu Handoko Mulyono (mantan Ketua KSU Sejahtera pada 2008), Toni Haryono (Ketua Badan Pengawas KSU Sejahtera), dan Fransisca Riyana Sari (mantan Ketua KSU Sejahtera pada 2007)Kasus dugaan korupsi pembangunan perumahan bersubsidi GLA di Dukuh Jeruk Sawit, Gondangrejo, pada 2007-2008 diperkirakan mengakibatkan kerugian negara Rp 15 miliar. Total nilai bantuan sebesar Rp 35 miliar yang diberikan pemerintah dengan rincian Rp 12 miliar untuk KPR bersubsidi, dan Rp 23 miliar bagi subsidi Kementerian Perumahan Rakyat. (Ant)
Mengenai keterlibatan Bupati Karanganyar Rina Iriani Salman menolak berkomentar. Kejati telah menetapkan tiga tersangka yaitu Handoko Mulyono (mantan Ketua KSU Sejahtera pada 2008), Toni Haryono (Ketua Badan Pengawas KSU Sejahtera), dan Fransisca Riyana Sari (mantan Ketua KSU Sejahtera pada 2007)Kasus dugaan korupsi pembangunan perumahan bersubsidi GLA di Dukuh Jeruk Sawit, Gondangrejo, pada 2007-2008 diperkirakan mengakibatkan kerugian negara Rp 15 miliar. Total nilai bantuan sebesar Rp 35 miliar yang diberikan pemerintah dengan rincian Rp 12 miliar untuk KPR bersubsidi, dan Rp 23 miliar bagi subsidi Kementerian Perumahan Rakyat. (Ant)
Kasus GLA dan rehab rumah, kerugian negara membengkak Rp 2 miliar 29 April 2010
Karanganyar (Espos)--Kasus dugaan korupsi proyek Griya Lawu Asri (GLA) Jeruksawit terus bergulir. Nominal kerugian negara program perumahan bersubsisi tahun 2007 dan 2008 itu diperkirakan mencapai Rp 17 miliar atau membengkak sekitar Rp 2 miliar.Perihal temuan itu seperti diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng, Sumitro, di sela-sela mendampingi penyidik Kejakti meninjau lokasi proyek GLA di Desa Jeruksawit, Gondangrejo, Rabu (28/4). Dia menyebutkan kerugian negara senilai Rp 17 miliar terdiri atas proyek tahun 2007 Rp 2 miliar dan tahun 2008 Rp 15 miliar.“Untuk yang 2007 kerugiaan negara sekitar Rp 2 miliar, sehingga totalnya dengan proyek tahun 2008 nominalnya mencapai Rp 17 miliar. Proses audit didahulukan terhadap proyek tahun terakhir karena pertimbangan tersangka yang telah ditahan penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejakti) Jateng yang menangani perkara,” ungkapnya kepada wartawan dalam kesempatan tersebut.Sumitro memaparkan, seperti halnya realisasi proyek GLA 2008, kerugian negara dalam kasus GLA 2007 timbul karena penggunaan subsidi dari Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera) RI yang tidak sesuai peruntukkan. Namun meski mengaku mengetahui pemanfaatan dana dari pemerintah pusat itu, dia tak bersedia menjelaskan. Menurutnya hal itu karena sudah masuk ranah penyidik.
“Bukan hak saya memberi penjelasan uangnya untuk apa dan lari kemana, itu kewenangan penyidik. Yang pasti tidak dimanfaatkan guna membangun rumah seperti peruntukkan,” ujarnya. Dikemukakan Sumitro, nominal kerugian negara sangat besar karena tak hanya menyangkut pembangunan perumahan di Desa Jeruksawit, Gondangrejo, melainkan rehab rumah bersubsidi.Ditemui terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Karanganyar, Damianus Sriyatin, menyatakan sangat siap jika nanti penanganan kasus GLA 2007 dilimpahkan ke lembaga yang dipimpinnya. Kejari, ujarnya, sebelumnya telah melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait kasus dugaan korupsi GLA 2008 yang kini diambil alih Kejakti. “Tentu saja siap, kenapa tidak?” ujarnya, Kamis (29/4). Damianus menyebutkan, sejauh ini pihaknya justru belum mengetahui perihal kerugian negara dalam proyek GLA 2007 yang mencapai Rp 2 miliar lebih. Dia mengatakan fakta itu tidak kemungkinan baru merupakan temuan BPKP Jateng. Lembaga tersebut, jelasnya, memang diberi kewenangan melakukan audit proyek atau kegiatan yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Bukan hak saya memberi penjelasan uangnya untuk apa dan lari kemana, itu kewenangan penyidik. Yang pasti tidak dimanfaatkan guna membangun rumah seperti peruntukkan,” ujarnya. Dikemukakan Sumitro, nominal kerugian negara sangat besar karena tak hanya menyangkut pembangunan perumahan di Desa Jeruksawit, Gondangrejo, melainkan rehab rumah bersubsidi.Ditemui terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Karanganyar, Damianus Sriyatin, menyatakan sangat siap jika nanti penanganan kasus GLA 2007 dilimpahkan ke lembaga yang dipimpinnya. Kejari, ujarnya, sebelumnya telah melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait kasus dugaan korupsi GLA 2008 yang kini diambil alih Kejakti. “Tentu saja siap, kenapa tidak?” ujarnya, Kamis (29/4). Damianus menyebutkan, sejauh ini pihaknya justru belum mengetahui perihal kerugian negara dalam proyek GLA 2007 yang mencapai Rp 2 miliar lebih. Dia mengatakan fakta itu tidak kemungkinan baru merupakan temuan BPKP Jateng. Lembaga tersebut, jelasnya, memang diberi kewenangan melakukan audit proyek atau kegiatan yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.
PERAN INDONESIA MENGATASI KRISIS GLOBAL
Konferensi Tingkat Tinggi G-20. Sementara ukuran paket perekonomian masih diperdebatkan, tampaknya terdapat konsensus bahwa sistem keuangan dunia harus diperbaiki dan dianggap stabil agar perekonomian dunia dapat pulih.
Sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan IBM Institute of Business Value terhadap lebih dari 2.600 eksekutif keuangan, pejabat pemerintah, serta perwakilan dari dunia hukum dan akademis menemukan bahwa inovasi keuangan yang sehat harus diimbangi oleh transparansi dan stabilitas keuangan. Pada waktu yang lalu, kesuksesan bisnis perbankan sering kali dikaitkan dengan kemampuannya untuk menyimpan rahasia. Jelas bahwa diperlukan transparansi, sistem "pintar", dan kebijakan manajemen yang proaktif dalam sistem layanan keuangan dunia yang terinterkoneksi.
Keberhasilan membutuhkan sistem permodelan dan penerapan informasi yang dapat member peringatan jika terjadi peningkatan risiko yang berlebih di sistem keuangan dan memberi usulan untuk mengatasi masalah yang ada. Pemerintah AS mengeluarkan undang-Undang yang mengotorisasikan pengeluaran sebesar US$ 787 miliar untuk proyek-proyek stimulus, termasuk proyek-proyek berpandangan ke depan yang dirancang untuk membangun jaringan yang "lebih pintar", memperluas akses broadband ke daerah-daerah permukiman, serta membuat sebuah sistem catatan kesehatan elektronis yang dapat menghemat biaya kesehatan dan meningkatkan keselamatan pasien.
Untuk memungkinkan dan mempercepat pemulihan ekonomi, tentunya kita harus mempertahankan pasar yang terbuka. Penutupan pasar dan restriksi perdagangan hanya akan menghalangi efek positif dari inisiatif stimulus keuangan yang dicanangkan di seluruh dunia.
Krisis keuangan global memberi peringatan kepada kita untuk berubah. Semakin banyak negara yang berinovasi dengan mengambil berbagai kebijakan baru untuk merespons berbagai kejadian yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Tapi hal ini tidak dapat dilaksanakan hanya oleh satu lembaga atau satu pemerintahan.
Membangun kembali kepercayaan dan beranjak ke pemulihan perekonomian membutuhkan upaya bersama yang dilandasi komitmen yang tinggi dari kalangan industri, pemerintah, dunia bisnis, dan kita sebagai individu. Pertemuan G-20 dan berbagai keputusan yang akan diambil oleh kelompok yang mewakili 85 persen perekonomian dunia ini dapat menjadi awal yang baik untuk menuju pemulihan ekonomi dunia dan tentunya kita harapkan berdampak positif bagi Indonesia.
Sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan IBM Institute of Business Value terhadap lebih dari 2.600 eksekutif keuangan, pejabat pemerintah, serta perwakilan dari dunia hukum dan akademis menemukan bahwa inovasi keuangan yang sehat harus diimbangi oleh transparansi dan stabilitas keuangan. Pada waktu yang lalu, kesuksesan bisnis perbankan sering kali dikaitkan dengan kemampuannya untuk menyimpan rahasia. Jelas bahwa diperlukan transparansi, sistem "pintar", dan kebijakan manajemen yang proaktif dalam sistem layanan keuangan dunia yang terinterkoneksi.
Keberhasilan membutuhkan sistem permodelan dan penerapan informasi yang dapat member peringatan jika terjadi peningkatan risiko yang berlebih di sistem keuangan dan memberi usulan untuk mengatasi masalah yang ada. Pemerintah AS mengeluarkan undang-Undang yang mengotorisasikan pengeluaran sebesar US$ 787 miliar untuk proyek-proyek stimulus, termasuk proyek-proyek berpandangan ke depan yang dirancang untuk membangun jaringan yang "lebih pintar", memperluas akses broadband ke daerah-daerah permukiman, serta membuat sebuah sistem catatan kesehatan elektronis yang dapat menghemat biaya kesehatan dan meningkatkan keselamatan pasien.
Untuk memungkinkan dan mempercepat pemulihan ekonomi, tentunya kita harus mempertahankan pasar yang terbuka. Penutupan pasar dan restriksi perdagangan hanya akan menghalangi efek positif dari inisiatif stimulus keuangan yang dicanangkan di seluruh dunia.
Krisis keuangan global memberi peringatan kepada kita untuk berubah. Semakin banyak negara yang berinovasi dengan mengambil berbagai kebijakan baru untuk merespons berbagai kejadian yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Tapi hal ini tidak dapat dilaksanakan hanya oleh satu lembaga atau satu pemerintahan.
Membangun kembali kepercayaan dan beranjak ke pemulihan perekonomian membutuhkan upaya bersama yang dilandasi komitmen yang tinggi dari kalangan industri, pemerintah, dunia bisnis, dan kita sebagai individu. Pertemuan G-20 dan berbagai keputusan yang akan diambil oleh kelompok yang mewakili 85 persen perekonomian dunia ini dapat menjadi awal yang baik untuk menuju pemulihan ekonomi dunia dan tentunya kita harapkan berdampak positif bagi Indonesia.
Dampak Krisis Ekonomi Global kepada Industri di Indonesia
Semenjak SBY memimpin Indonesia baik Kurs Rupiah maupun IHSG terlihat Stabil. Namun terjadinya krisis financial global membuat pemerintah dan beberapa departemen di Indonesia mengeluarkan beberapa langkah antisipasi. Kepanikan investor yang membuat jatuhnya indeks saham sampai level 1400 membuat BEI dan pemerintah melakukan suspensi atas aktivitas perdagangan di bursa.
Namun tampaknya intervensi yang telah dilakukan pemerintah pun belum berhasil untuk menahan nilai kurs rupiah, bahkan pada 10 oktober 2008 kemarin dolar sempat
menembus Rp. 10.650,-. Kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga menjadi 9,5% ternyata belum mampu menahan gejolak dan tekanan krisis. Terjadinya krisis ini mau tidak mau sangat berpengaruh terhadap usaha bisnis yang ada di Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan investasi seperti pembiayaan, asuransi, bank, properti dan industri yang terkait dengan ekspor.
Untuk bisnis pembiayaan sendiri, keringnya likuiditas di pasar akan sangat menghambat industri multifinance untuk mengembangkan pembiayaannya sehingga
pertumbuhan sampai akhir tahun ini diprediksi 10-20%. industri pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing, dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank dan sebagian kecil dari pinjaman langsung lainnya dalam negeri dan asing.
Sulitnya mendapatkan funding dari bank dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kredit baru yang memiliki beban suku bunga pembiayaan lebih tinggi menyesuaikan dengan naiknya biaya dana. Tingginya suku bunga yang ditetapkan BI
dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pembiayaan, yakni potensi naiknya pembiayaan macet menjadi lebih besar meski kucuran pembiayaan dilakukan dengan sangat hati-hati.
Kerena itu para pelaku bisnis di pembiayaan ini harus mencari sumber dana lain. Jika melalui bank local sulit mendapatkan dana, maka segera ekspansi untuk menggaet mitra bank asing yang memiliki likuiditas yang tinggi. Pemerintah harusnya juga menciptakan iklim yang kondusif untuk bisnis pembiayaan ini, misalnya dengan membuka kesempatan kepada multifinance mendapat dana dari industri asuransi atau dana pensiun sehingga tak hanya mengandalkan dana dari bank ataupun obligasi. Di samping itu, perlu juga dibuat aturan mengenai kepemilikan asing dalam lembaga pembiayaan.
Sama halnya dengan industri asuransi, jatuhnya saham domestik ini berpotensi negetif terhadap pemegang polis asuransi unit link. Walaupun untungnya, unit link menempatkan dananya di saham masih sedikit apabila dibandingkan dengan fix income, namun saat ini perusahaan asuransi harus mulai untuk melihat potensi atau peluang investasi di sektor riil. Memang investasi di sektor ini membuat asset kurang liquid, akan tetapi dalam jangka panjang, investasi sektor riil yang dikelola secara hati hati akan menjadi salah satu alternatif pendapatan yang menjanjikan untuk industri asuransi.
Begitu juga dengan industri yang mengekspor barang hasil produksinya. Amerika serikat Serikat adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia setelah Jepang yang menyerap 12, 5 persen dari total nilai ekspor. Pada Januari-Agustus 2008, AS menyerap 8,5 milliar dollar AS atau 11, 58 persen dari total nilai ekspor nonmigas indonesia yang mencapai 73,54 milliar dolar AS. Penyerapan pasar AS bukan saja penting karena besarnya pangsa pasar negara tersebut. Komposisi produk ekspor indonesia ke AS juga bernilai penting karena ditopang oleh industri manufaktur dan pertanian yang menjadi gantungan hajat hidup rakyat banyak.
Selama ini sekitar 43 persen dari total ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) indonesia diserap AS. Hampir 60% dari total ekspor alas kaki indonesia juga dipesan pemegang merek dari AS. Mereka juga menyerap 37 persen ekspor produk perikanan di Indonesia. Padahal TPT dan alas kaki adalah gambaran dari subsektor yang paling diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. Sementara di sektor pertanian, kinerja ekspor
lebih banyak ditopang produk ikan dan udang daripada hasil budidaya tanaman pangan.
Menanggapi Berbagai gejolak eksternal tersebut jelas merupakan tantangan bagi Indonesia. Miranda S.Goeltom, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FEUI, mengatakan bahwa indahnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak ataupun nilai tukar. Ia menawarkan model koordinasi “Leader-follower”. Artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makroekonomi.
Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter perlu menjadi leader dengan membuat berbagai upaya dalam melaklukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedang otoritas fiskal menjadi follower, dengan mempersiapkan Jaring Pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari resiko sistemik di sektor finansial. Hanya saja, sekarang ini dibutuhkan tidak hanya policy mix makro, namun koordinasi kebijakan pada lingkungan metaekonomi.
Lingkungan meta ini mencakup antisipasi terhadap natural disruption, sektoral, dan daerah. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security.
Koordinasi lintas sektor dan daerah amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan melibatkan 485 kabupaten/kota serta 33 provinsi. Apalagi akan diadakan pilkada di 15 provinsi dan 85 kabupaten/kota pada tahun ini. Ibarat lagu, lagu yang dimainkan berbagai macam. Ada keroncong, rock, jazz, gamelan, dan dangdut, dengan pemain dan penonton yang berbeda karakter dan perilaku. Inilah pentingnya “sang pemimpin” menjadi dirigen suatu orkestra kebijakan makro, sektoral, dan daerah.
Bagaimana langkah awal untuk mengantisipasi kondisi ini? Pertama, meningkatkan kinerja sektor riil sebagai penunjang fundamental ekonomi. Harus kita akui bahwa kinerja fundamental perekonomian kita beberapa tahun belakangan ini bukanlah disebabkan oleh peningkatan sektor riil, seperti peningkatan daya saing, kenaikan produktivitas, dan investasi sektor riil, tetapi lebih disebabkan pengaruh fluktuasi harga komoditas dan kinerja sektor keuangan.
Sementara itu jika kita telaah lebih lanjut, tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia semakin meningkat, tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (paradox of growth). Ini menandakan fundamental perekonomian kita artifisial dan semu. Fundamental perekonomian yang rapuh menciptakan ekspektasi negatif buat investor
karena mencerminkan kondisi ketidakpastian.
Menjelang Pemilu 2009 tentunya meningkatkan eskalasi dan dinamika politik di Indonesia. Stabilnya politik dan keamanan menjadi pertimbangan utama investor dalam melakukan alokasi dan distribusi portofolionya. Apabila stabilitas polkam menjelang pemilu terkendali, lalu hasil pelaksanaan pemilu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat diterima oleh pasar, akhirnya meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas pasar modal Indonesia.
Ketiga, regulasi yang market friendly. Pihak regulator harus selalu menciptakan kebijakan yang market friendly terhadap pasar, yaitu kebijakan yang dapat mengakomodasi keuntungan investor dengan tidak mengesampingkan kepentingan investor minoritas.
Regulasi yang market friendly akan memberikan kenyamanan bagi investor untuk berinvestasi dengan horizon waktu jangka panjang. Investor melakukan investasi dasarnya adalah ekspektasi atas tingkat keuntungan/pengembalian dan tingkat risiko investasi.
Dengan struktur perekonomian yang kuat, keamanan berinvestasi dan regulasi yang market friendly akan meningkatkan ekspektasi investor pada pasar modal Indonesia. Momentum krisis keuangan AS ini merupakan kesempatan untuk mengubah persepsi pasar modal Indonesia sebagai pasar modal dengan karakter high risk high return menjadi karakter pasar modal yang dapat memberikan harapan tingkat keuntungan
(expected return) yang optimal dengan tingkat risiko investasi yang minimum sehingga
bisa menarik modal masuk.
Sejumlah pakar ekonom mengatakan bahwa di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak akan mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil karena bursa di Indonesia hanya membawa pengaruh 20% dari ekonomi Indonesia. Selain itu krisis pasar modal seperti ini tidak akan kembali mengulang seperti krisis pada tahun 1997 karena depresisasi rupiah padah tahun itu adalah 100% dengan inflasi 20% NPL perbankan 60% dan SBI 50%. Gejolak ekonomi yang terjadi saat ini hanya mendepresiasi rupiah sebesar 5%, inflasi 12,14% NPL perbankan 1% dan SBI 9,5%.
Namun Gejolak ini akan membawa kepada krisis atau tidak, kita harus selalu percaya bahwa krisis adalah peluang untuk memasuki era baru yang lebih baik. Semoga dunia bisa keluar dari krisis ini dengan situasi yang lebih baik. Dan semoga ekonom pemerintah Indonesia sudah pasang kuda-kuda melindungi ekonomi indonesia dari krisis ini. Kalau tidak, siap-siap tabungan kita semua di bank, hasil keringat kita bertahun-tahun, hilang dan menguap dalam krisis. Kita menjadi korban sistem ekonomi yang mengandalkan financial engineering bukan sistem yang berbasis sektor riil dan
entrepreneurial.
Namun tampaknya intervensi yang telah dilakukan pemerintah pun belum berhasil untuk menahan nilai kurs rupiah, bahkan pada 10 oktober 2008 kemarin dolar sempat
menembus Rp. 10.650,-. Kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga menjadi 9,5% ternyata belum mampu menahan gejolak dan tekanan krisis. Terjadinya krisis ini mau tidak mau sangat berpengaruh terhadap usaha bisnis yang ada di Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan investasi seperti pembiayaan, asuransi, bank, properti dan industri yang terkait dengan ekspor.
Untuk bisnis pembiayaan sendiri, keringnya likuiditas di pasar akan sangat menghambat industri multifinance untuk mengembangkan pembiayaannya sehingga
pertumbuhan sampai akhir tahun ini diprediksi 10-20%. industri pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing, dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank dan sebagian kecil dari pinjaman langsung lainnya dalam negeri dan asing.
Sulitnya mendapatkan funding dari bank dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kredit baru yang memiliki beban suku bunga pembiayaan lebih tinggi menyesuaikan dengan naiknya biaya dana. Tingginya suku bunga yang ditetapkan BI
dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pembiayaan, yakni potensi naiknya pembiayaan macet menjadi lebih besar meski kucuran pembiayaan dilakukan dengan sangat hati-hati.
Kerena itu para pelaku bisnis di pembiayaan ini harus mencari sumber dana lain. Jika melalui bank local sulit mendapatkan dana, maka segera ekspansi untuk menggaet mitra bank asing yang memiliki likuiditas yang tinggi. Pemerintah harusnya juga menciptakan iklim yang kondusif untuk bisnis pembiayaan ini, misalnya dengan membuka kesempatan kepada multifinance mendapat dana dari industri asuransi atau dana pensiun sehingga tak hanya mengandalkan dana dari bank ataupun obligasi. Di samping itu, perlu juga dibuat aturan mengenai kepemilikan asing dalam lembaga pembiayaan.
Sama halnya dengan industri asuransi, jatuhnya saham domestik ini berpotensi negetif terhadap pemegang polis asuransi unit link. Walaupun untungnya, unit link menempatkan dananya di saham masih sedikit apabila dibandingkan dengan fix income, namun saat ini perusahaan asuransi harus mulai untuk melihat potensi atau peluang investasi di sektor riil. Memang investasi di sektor ini membuat asset kurang liquid, akan tetapi dalam jangka panjang, investasi sektor riil yang dikelola secara hati hati akan menjadi salah satu alternatif pendapatan yang menjanjikan untuk industri asuransi.
Begitu juga dengan industri yang mengekspor barang hasil produksinya. Amerika serikat Serikat adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia setelah Jepang yang menyerap 12, 5 persen dari total nilai ekspor. Pada Januari-Agustus 2008, AS menyerap 8,5 milliar dollar AS atau 11, 58 persen dari total nilai ekspor nonmigas indonesia yang mencapai 73,54 milliar dolar AS. Penyerapan pasar AS bukan saja penting karena besarnya pangsa pasar negara tersebut. Komposisi produk ekspor indonesia ke AS juga bernilai penting karena ditopang oleh industri manufaktur dan pertanian yang menjadi gantungan hajat hidup rakyat banyak.
Selama ini sekitar 43 persen dari total ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) indonesia diserap AS. Hampir 60% dari total ekspor alas kaki indonesia juga dipesan pemegang merek dari AS. Mereka juga menyerap 37 persen ekspor produk perikanan di Indonesia. Padahal TPT dan alas kaki adalah gambaran dari subsektor yang paling diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. Sementara di sektor pertanian, kinerja ekspor
lebih banyak ditopang produk ikan dan udang daripada hasil budidaya tanaman pangan.
Menanggapi Berbagai gejolak eksternal tersebut jelas merupakan tantangan bagi Indonesia. Miranda S.Goeltom, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FEUI, mengatakan bahwa indahnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak ataupun nilai tukar. Ia menawarkan model koordinasi “Leader-follower”. Artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makroekonomi.
Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter perlu menjadi leader dengan membuat berbagai upaya dalam melaklukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedang otoritas fiskal menjadi follower, dengan mempersiapkan Jaring Pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari resiko sistemik di sektor finansial. Hanya saja, sekarang ini dibutuhkan tidak hanya policy mix makro, namun koordinasi kebijakan pada lingkungan metaekonomi.
Lingkungan meta ini mencakup antisipasi terhadap natural disruption, sektoral, dan daerah. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security.
Koordinasi lintas sektor dan daerah amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan melibatkan 485 kabupaten/kota serta 33 provinsi. Apalagi akan diadakan pilkada di 15 provinsi dan 85 kabupaten/kota pada tahun ini. Ibarat lagu, lagu yang dimainkan berbagai macam. Ada keroncong, rock, jazz, gamelan, dan dangdut, dengan pemain dan penonton yang berbeda karakter dan perilaku. Inilah pentingnya “sang pemimpin” menjadi dirigen suatu orkestra kebijakan makro, sektoral, dan daerah.
Bagaimana langkah awal untuk mengantisipasi kondisi ini? Pertama, meningkatkan kinerja sektor riil sebagai penunjang fundamental ekonomi. Harus kita akui bahwa kinerja fundamental perekonomian kita beberapa tahun belakangan ini bukanlah disebabkan oleh peningkatan sektor riil, seperti peningkatan daya saing, kenaikan produktivitas, dan investasi sektor riil, tetapi lebih disebabkan pengaruh fluktuasi harga komoditas dan kinerja sektor keuangan.
Sementara itu jika kita telaah lebih lanjut, tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia semakin meningkat, tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (paradox of growth). Ini menandakan fundamental perekonomian kita artifisial dan semu. Fundamental perekonomian yang rapuh menciptakan ekspektasi negatif buat investor
karena mencerminkan kondisi ketidakpastian.
Menjelang Pemilu 2009 tentunya meningkatkan eskalasi dan dinamika politik di Indonesia. Stabilnya politik dan keamanan menjadi pertimbangan utama investor dalam melakukan alokasi dan distribusi portofolionya. Apabila stabilitas polkam menjelang pemilu terkendali, lalu hasil pelaksanaan pemilu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat diterima oleh pasar, akhirnya meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas pasar modal Indonesia.
Ketiga, regulasi yang market friendly. Pihak regulator harus selalu menciptakan kebijakan yang market friendly terhadap pasar, yaitu kebijakan yang dapat mengakomodasi keuntungan investor dengan tidak mengesampingkan kepentingan investor minoritas.
Regulasi yang market friendly akan memberikan kenyamanan bagi investor untuk berinvestasi dengan horizon waktu jangka panjang. Investor melakukan investasi dasarnya adalah ekspektasi atas tingkat keuntungan/pengembalian dan tingkat risiko investasi.
Dengan struktur perekonomian yang kuat, keamanan berinvestasi dan regulasi yang market friendly akan meningkatkan ekspektasi investor pada pasar modal Indonesia. Momentum krisis keuangan AS ini merupakan kesempatan untuk mengubah persepsi pasar modal Indonesia sebagai pasar modal dengan karakter high risk high return menjadi karakter pasar modal yang dapat memberikan harapan tingkat keuntungan
(expected return) yang optimal dengan tingkat risiko investasi yang minimum sehingga
bisa menarik modal masuk.
Sejumlah pakar ekonom mengatakan bahwa di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak akan mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil karena bursa di Indonesia hanya membawa pengaruh 20% dari ekonomi Indonesia. Selain itu krisis pasar modal seperti ini tidak akan kembali mengulang seperti krisis pada tahun 1997 karena depresisasi rupiah padah tahun itu adalah 100% dengan inflasi 20% NPL perbankan 60% dan SBI 50%. Gejolak ekonomi yang terjadi saat ini hanya mendepresiasi rupiah sebesar 5%, inflasi 12,14% NPL perbankan 1% dan SBI 9,5%.
Namun Gejolak ini akan membawa kepada krisis atau tidak, kita harus selalu percaya bahwa krisis adalah peluang untuk memasuki era baru yang lebih baik. Semoga dunia bisa keluar dari krisis ini dengan situasi yang lebih baik. Dan semoga ekonom pemerintah Indonesia sudah pasang kuda-kuda melindungi ekonomi indonesia dari krisis ini. Kalau tidak, siap-siap tabungan kita semua di bank, hasil keringat kita bertahun-tahun, hilang dan menguap dalam krisis. Kita menjadi korban sistem ekonomi yang mengandalkan financial engineering bukan sistem yang berbasis sektor riil dan
entrepreneurial.
Kebijakan BI Dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global
Tingginya inflasi ini masih akan berlangsung hingga paruh ke dua tahun 2009. BI menyikapi tingginya inflasi dengan menaikkan suku bunga secara bertahap sebesar 25 basis point per bulan yang kini pada tingkatan 9,5 persen. Dengan perkiraan inflasi pada tahun 2009 sekitar 6,5-7,5 persen tingkat BI Rate ini dianggap memadai.
Upaya untuk mengatasi ketatnya likuiditas di satu sisi dan tingginya inflasi di sisi lain tampaknya saling bertentangan. Untuk melawan inflasi dibutuhkan kebijakan uang ketat, sedangkan untuk mengatasi persoalan ketatnya likuiditas di perbankan dibutuhkan aliran dana ke dalam perekonomian. Tampaknya BI dan pemerintah berupaya melakukan kebijakan bersifat hibrid, yaitu mengurangi tekanan likuiditas dengan berupaya mengendalikan inflasi, paling tidak dalam enam bulan ke depan saat inflasi masih tinggi.
Hasilnya tentu tidak optimal, tetapi dalam situasi penuh ketidakpastian, amat sulit menerapkan kebijakan optimal. Saat ini, perbankan Indonesia sedang dalam proses ekapansi dalam menyalurkan kredit. Kecenderungan ini akan terus berlangsung karena LDR (rasio kredit terhadap deposito) meski mengalami peningkatan besar, tetapi masih ada di bawah 80 persen.
Bandingkan dengan LDR Thailand yang mendekati 100 persen dan Korea Selatan yang telah melampaui 100 persen. Memang aliran kredit perbankan terbatas kredit investasi karena tingginya risiko dan lebih besar pada kredit konsumsi dan modal kerja. Bagi bank-bank papan atas, mereka tampaknya enggan memanfaatkan fasilitas repo BI, terutama terkait reputasi. Mereka tidak mau mendapatkan kesan kesulitan dana dengan
memanfaatkan fasilitas BI. Bank-bank itu cenderung mendapatkan dana dari masyarakat atau pasar uang antarbank meski bunganya tinggi selama mereka dapat menyalurkan kredit dengan marjin tertentu. Kemungkinan pertumbuhan kredit akan melambat sesuai pertumbuhan dana pihak ketiga. Namun, kecenderungan pertumbuhan kredit masih akan tetap tinggi karena perbankan dalam kondisi ekspansif.
Dari sisi kebijakan moneter dan supervisi perbankan selain membuka akses lebih besar pada likuiditas, kepercayaan antarlembaga keuangan khususnya antarbank harus tetap
dijaga baik guna mencegah persoalan credit crunch, seperti di AS dan Eropa. Dengan rasio permodalan yang cukup baik dan tidak terkait masalah produk keuangan dari lembaga keuangan yang gagal di AS, seharusnya perbankan di Indonesia masih dapat berfungsi optimal meski menghadapi tekanan permasalahan likuiditas.
Upaya untuk mengatasi ketatnya likuiditas di satu sisi dan tingginya inflasi di sisi lain tampaknya saling bertentangan. Untuk melawan inflasi dibutuhkan kebijakan uang ketat, sedangkan untuk mengatasi persoalan ketatnya likuiditas di perbankan dibutuhkan aliran dana ke dalam perekonomian. Tampaknya BI dan pemerintah berupaya melakukan kebijakan bersifat hibrid, yaitu mengurangi tekanan likuiditas dengan berupaya mengendalikan inflasi, paling tidak dalam enam bulan ke depan saat inflasi masih tinggi.
Hasilnya tentu tidak optimal, tetapi dalam situasi penuh ketidakpastian, amat sulit menerapkan kebijakan optimal. Saat ini, perbankan Indonesia sedang dalam proses ekapansi dalam menyalurkan kredit. Kecenderungan ini akan terus berlangsung karena LDR (rasio kredit terhadap deposito) meski mengalami peningkatan besar, tetapi masih ada di bawah 80 persen.
Bandingkan dengan LDR Thailand yang mendekati 100 persen dan Korea Selatan yang telah melampaui 100 persen. Memang aliran kredit perbankan terbatas kredit investasi karena tingginya risiko dan lebih besar pada kredit konsumsi dan modal kerja. Bagi bank-bank papan atas, mereka tampaknya enggan memanfaatkan fasilitas repo BI, terutama terkait reputasi. Mereka tidak mau mendapatkan kesan kesulitan dana dengan
memanfaatkan fasilitas BI. Bank-bank itu cenderung mendapatkan dana dari masyarakat atau pasar uang antarbank meski bunganya tinggi selama mereka dapat menyalurkan kredit dengan marjin tertentu. Kemungkinan pertumbuhan kredit akan melambat sesuai pertumbuhan dana pihak ketiga. Namun, kecenderungan pertumbuhan kredit masih akan tetap tinggi karena perbankan dalam kondisi ekspansif.
Dari sisi kebijakan moneter dan supervisi perbankan selain membuka akses lebih besar pada likuiditas, kepercayaan antarlembaga keuangan khususnya antarbank harus tetap
dijaga baik guna mencegah persoalan credit crunch, seperti di AS dan Eropa. Dengan rasio permodalan yang cukup baik dan tidak terkait masalah produk keuangan dari lembaga keuangan yang gagal di AS, seharusnya perbankan di Indonesia masih dapat berfungsi optimal meski menghadapi tekanan permasalahan likuiditas.
Anatomi Krisis Keuangan Global
Krisis yang terjadi di Amerika serikat Serikat berakar pada besarnya gelembung kredit yang dikucurkan ke perumahan. Harga rumah di Amerika serikat, rata-rata turun hampir 5 persen. Banyak analis yang memprediksi bahwa harga akan turun lagi sebesar 10 persen, di mana hal tersebut akan menyebabkan penurunan harga rumah secara kumulatif dalam depresi ini. Bahkan di negara lain dampaknya bisa lebih buruk.
IMF memperhitungkan bahwa kerugian di seluruh dunia pada hutang yang berasal
dari Amerika serikat (terutama yang berhubungan dengan mortgages) akan mencapai 1,4 triliun US dolar, perhitungan ini meningkat dari perkiraan awal yang mencapai 945 miliar US dolar pada bulan April 2008. Sejauh ini 760 miliar dolar telah dicatat oleh bank, perusahaan asuransi, hedge fund dan lainnya yang memiliki hutang tersebut.
Secara global, bank sendiri telah dilaporkan mencapai kerugian sebesar 600 miliar US dolar dalam bentuk kredit dan telah mengeluarkan 430 miliar US dolar dalam bentuk modal baru. Bank-bank di Amerika serikat dan di Eropa akan mencucurkan dananya sebesar 10 triliun US dolar dalam bentuk aset, yang ekuivalen dengan 14,5 persen dari stok kredit bank di tahun 2009.
Di Amerika serikat secara keseluruhan pertumbuhan kredit akan melambat di bawah 1 persen, turun dari rata-rata pertahun setelah masa perang yang mencapai 9 persen. Hal itu sendiri dapat menurunkan pertumbuhan perekonomian negara-negara barat sebesar 1,5 persen. Tanpa tindakan maju dari pemerintah yang akan mencucurkan dana sebesar 700 miliar US dolar, perhitungan IMF menunjukan bahwa kredit akan turun sebesar 7,3 persen di Amerika serikat, 6,3 persen di Inggris, dan 4,5 persen di seluruh eropa.
Sejumlah negara-negara kaya saat ini mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi karena melonjaknya harga minyak pada awal tahun ini. Pendapatan nasional di Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Dengan melihat
cepatnya para pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan lemahnya daya beli konsumen, perekonomian Amerika serikat juga mengalami kemunduran.
Sejarah mengajarkan pelajaran penting, bahwa krisis perbankan yang besar akhirnya
diselesaikan dengan menggunakan sejumlah besar uang publik, dan kemudian tindakan pemerintah yang tegas, baik itu untuk merekapitalisasi bank atau mengambil alih kredit yang bermasalah, dapat meminimalkan biaya kepada pembayar pajak dan dampak krisis tersebut ke perekonomian. Contohnya, Swedia dengan cepat mengambil alih bank yang bermasalah setelah terjadinya kegagalan properti di awal tahun 1990-an dan pulih dengan cepat. Secara kontras, Jepang harus menempuh satu dekade untuk pulih dari krisis keuangan dengan biaya pembayar pajaknya yang ekuivalen dengan 24 persen GDP nya.
Pemerintah Amerika Serikat telah telah meletakkan 7 persen GDP nya pada garis batas, sejumlah uang yang sangat banyak sebesar 16 persen GDP dimana rata-rata krisis perbankan yang sistemik diselesaikan dengan biaya dari bantuan dana publik. Saat ini bagaimana Amerika serikat mengusulkan bekerjanya Troubled Asset Relief Programme (TARP) masih belum jelas. Departemen Keuangan Amerika Serikat berencana membeli sejumlah besar utang yang bermasalah dengan menggunakan mekanisme lelang, di mana bank menawarkan untuk menjual pada suatu harga tertentu dan pemerintah membeli dari harga terendah sampai tertingi. Kompleksitas dari ribuan hipotek yang dijamin dengan asset akan membuat hal ini menjadi sulit. Bila rekapitalisasi bank secara langsung masih dibutuhkan, Departemen Keuangan dapat melakukan hal itu juga. Hal yang utama adalah Amerika serikat harus bersiap-siap melakukan tindakan tegas.
Untuk sementara waktu, hal tersebut menawarkan alasan optimisme. Begitu juga dengan kekuatan dari emerging market terbesar, terutama China. Perekonomian negara ini tidak terpengaruh sebagaimana negara-negara lain terlihat berjatuhan. Pasar saham mereka terjun dan banyak mata uang telah turun tajam. Permintaan domestik di negara-negara emerging market melambat tetapi tidak kolaps. IMF berharap perekonomian negara-negara emerging market, yang dipimpin oleh China, untuk tetap tumbuh sebesar 6,9 persen pada 2008 dan 6,1 persen pada 2009. Hal itu akan menjadi bantal perekonomian dunia meski tidak akan menyelamatkannya dari resesi.
Perangsang lain datang dari terjunnya harga komoditas akhir-akhir ini, terutama minyak. Selama tahun pertama krisis keuangan, boom yang terjadi dalam harga komoditas yang telah terjadi selama lima tahun menjadi hal sangat mengejutkan. Dari awal tahun sampai juli, harga minyak naik hampir dua kali lipat. Indeks harga makanan melonjak sebesar 55 persen.
Kenaikan harga yang sangat besar ini mendorong kenaikan indeks harga konsumen di dunia. Rata-rata headline inflation pada bulan Juli telah melebihi 4 persen di negara-negara kaya dan hampir mencapai 9 persen di emerging economies, jauh melebihi target bank sentral. Inflasi yang tinggi dan terus menerus melonjak bersamaan dengan lemahnya keuangan menyebabkan bank sentral mengalami kebingungan dan menghadapi trade off yang berbahaya. Mereka dapat mengetatkan kebijakan moneter untuk menghindari dari inflasi yang lebih tinggi dan menjadi berurat akar (sebagaimana yang dilakukan ECB), atau mereka dapat memotong suku bunga untuk membantali lemahnya sisi financial (sebagaimana yang dilakukan The Fed). Dilema tersebut sekarang berakhir.
Hal tersebut terjadi karena turunnya harga komoditas secara tajam, indeks harga konsumen yang sempat mencapai puncaknya yang akan menimbulkan resiko inflasi telah mereda. Bila harga
minyak tetap pada level saat ini, indeks harga konsumen Amerika serikat mungkin saja
turun dibawah 1 persen pada pertengahan tahun ini. Kemudian pembuat kebijakan akan mulai segera mengkhawatirkan adanya deflasi.
Masalahnya terletak pada besarnya difisit neraca berjalan Amerika serikat yang bergantung pada pembiayaan luar negeri. Amerika Serikat memiliki keuntungan bahwa
mata uangnya yakni dolar adalah mata uang cadangan devisa tiap negara, dan sebagaimana kekacauan pasar finansial telah meluas, dolar akan menguat. Tetapi krisis kali ini juga menguji banyak fondasi dimana orang asing loyal terhadap dasar dolar, seperti jangkauan pemerintah yang terbatas dan pasar modal yang stabil. Bila orang asing melarikan dolar, maka amerika serikat akan mengalami dua mimpi buruk yang menghantui negara-negara emerging market dalam kehancuran pasar keuangan: secara simultan terjadi krisis mata uang dan perbankan. Utang amerika serikat, tidak seperti utang-utang negara emerging market, utang Amerika Serikat didenominasikan dalam bentuk mata uangnya sendiri, yaitu dolar. Tetapi kolapsnya dolar akan tetap menjadi sebuah bencana.
Apa yang akan menjadi efek jangka panjang dari kekacauan pasar finansial ini terhadap ekonomi dunia? Memprediksi konsekuensi dari krisis yang belum selesai adalah suatu yang bahaya. Tetapi sudah jelas bahwa, bahkan dalam ketiadaan bencana, arah globalisasi akan berubah. Dua dekade yang lalu pertumbuhan integrasi perekonomian dunia telah bersama-sama dengan semakin berkembangnya pengetahuan dari anglo-saxon kapitalisme pasar bebas, dengan amerika serikat sebagai cheerleadernya.
Pembebasan aliran perdagangan dan modal juga deregulasi industri domestik dan keuangan telah menyebabkan pesatnya perkembangan globalisasi. Integrasi global, dalam jumlah besar, telah menyebabkan kemenangan pasar atas pemerintah. Proses ini sekarang berbalik menjadi 3 jalan yang berbeda.
Pertama, keuangan negara-negara barat akan diregulasi. Pada tingkat minimalnya, wilayah yang paling bebas di keuangan modern, seperti 55 triliun US dolar untuk derivasi kredit akan diatur. Peraturan akan modal akan diperiksa secara seksama untuk menurunkan solvabilitas dan meningkatkan daya rentang sistem. Overlaping dari pembuat peraturan akan diatur kembali. Seberapa besar kontrol yang akan dikenakan akan kurang bergantung kepada ideologi daripada parahnya penurunan ekonomi.
Yang kedua, keseimbangan antara negara dan pasar berubah dalam wilayah selain keuangan. Untuk kebanyakan negara, shock yang sangat penting dalam beberapa tahun yang lalu adalah naiknya harga komoditi secara besar-besaran, dimana politisi juga disalahkan karena adanya spekulasi keuangan. Naiknya harga makanan di akhir 2007 dan awal 2008 telah menyebabkan adanya pemberontakan di 30 negara. Untuk meresponsnya, pemerintah di negara-negara emerging market memperluas jangkauannya, menaikan subsidi, memperbaiki harga, melarang expor dari komoditas penting, bahkan pada kasus india, pemerintahnya melarang perdagangan future.
Ketiga, Amerika serikat kehilangan pengaruh ekonomi dan wewenang intelektual.
Sebagaimana negara-negera yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat membentuk arah dari perdagangan global, sehingga mereka akan meningkatkan bentuk keuangan masa depan. Seperti China yang merupakan negara kaya kapital dan mudah dalam member kredit. Deleveraging dalam perekonomian barat akan sedikit tidak terlalu terasa bila savings di negara-negara asia yang kaya dan negara pengekspor minyak menyuntikan dananya.
Rentetan efek domino pun masih berlanjut dengan hancurnya Washington Mutual (WaMu). WaMu ditutup setelah nasabah menarik dana besar-besaran sejak 15 September lalu atau sejak Lehman Brothers mengalami kebangkrutan. Penarikan dana mencapai 16,7 miliar dollar AS. Bahkan, di eropa pun krisis keuangan AS mengimbas ke Amsterdam (Belanda) dan Brussels (Belgia), di mana Fortis NV, jasa keuangan Belanda-Belgia, harus menepis rumor. Bank Sentral Belanda telah memerintahkan bank pesaing Fortis untuk mendukung pendanaan bank tersebut. Fortis, yang juga terjebak pinjaman pada perumahan AS, mengalami penurunan harga saham 21 persen, terendah dalam 14 tahun terakhir.
Jatuhnya WaMu seakan menjadi pembenaran bahwa krisis finansial ini semakin memburuk. Akibatnya, pasar saham di Asia, Eropa, dan AS, anjlok lagi. Belum jelasnya
nasib rancangan penyelamatan yang diajukan oleh pemerintahan Bush juga menambah suram pasar finansial di seluruh penjuru dunia. Krisis kepercayaan telah merepotkan lembaga keuangan. Untuk mengatasi kekeringan likuiditas di perbankan, bank-bank sentral di beberapa negara menambah pasokan likuiditas ke sektor perbankan.
IMF memperhitungkan bahwa kerugian di seluruh dunia pada hutang yang berasal
dari Amerika serikat (terutama yang berhubungan dengan mortgages) akan mencapai 1,4 triliun US dolar, perhitungan ini meningkat dari perkiraan awal yang mencapai 945 miliar US dolar pada bulan April 2008. Sejauh ini 760 miliar dolar telah dicatat oleh bank, perusahaan asuransi, hedge fund dan lainnya yang memiliki hutang tersebut.
Secara global, bank sendiri telah dilaporkan mencapai kerugian sebesar 600 miliar US dolar dalam bentuk kredit dan telah mengeluarkan 430 miliar US dolar dalam bentuk modal baru. Bank-bank di Amerika serikat dan di Eropa akan mencucurkan dananya sebesar 10 triliun US dolar dalam bentuk aset, yang ekuivalen dengan 14,5 persen dari stok kredit bank di tahun 2009.
Di Amerika serikat secara keseluruhan pertumbuhan kredit akan melambat di bawah 1 persen, turun dari rata-rata pertahun setelah masa perang yang mencapai 9 persen. Hal itu sendiri dapat menurunkan pertumbuhan perekonomian negara-negara barat sebesar 1,5 persen. Tanpa tindakan maju dari pemerintah yang akan mencucurkan dana sebesar 700 miliar US dolar, perhitungan IMF menunjukan bahwa kredit akan turun sebesar 7,3 persen di Amerika serikat, 6,3 persen di Inggris, dan 4,5 persen di seluruh eropa.
Sejumlah negara-negara kaya saat ini mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi karena melonjaknya harga minyak pada awal tahun ini. Pendapatan nasional di Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Dengan melihat
cepatnya para pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan lemahnya daya beli konsumen, perekonomian Amerika serikat juga mengalami kemunduran.
Sejarah mengajarkan pelajaran penting, bahwa krisis perbankan yang besar akhirnya
diselesaikan dengan menggunakan sejumlah besar uang publik, dan kemudian tindakan pemerintah yang tegas, baik itu untuk merekapitalisasi bank atau mengambil alih kredit yang bermasalah, dapat meminimalkan biaya kepada pembayar pajak dan dampak krisis tersebut ke perekonomian. Contohnya, Swedia dengan cepat mengambil alih bank yang bermasalah setelah terjadinya kegagalan properti di awal tahun 1990-an dan pulih dengan cepat. Secara kontras, Jepang harus menempuh satu dekade untuk pulih dari krisis keuangan dengan biaya pembayar pajaknya yang ekuivalen dengan 24 persen GDP nya.
Pemerintah Amerika Serikat telah telah meletakkan 7 persen GDP nya pada garis batas, sejumlah uang yang sangat banyak sebesar 16 persen GDP dimana rata-rata krisis perbankan yang sistemik diselesaikan dengan biaya dari bantuan dana publik. Saat ini bagaimana Amerika serikat mengusulkan bekerjanya Troubled Asset Relief Programme (TARP) masih belum jelas. Departemen Keuangan Amerika Serikat berencana membeli sejumlah besar utang yang bermasalah dengan menggunakan mekanisme lelang, di mana bank menawarkan untuk menjual pada suatu harga tertentu dan pemerintah membeli dari harga terendah sampai tertingi. Kompleksitas dari ribuan hipotek yang dijamin dengan asset akan membuat hal ini menjadi sulit. Bila rekapitalisasi bank secara langsung masih dibutuhkan, Departemen Keuangan dapat melakukan hal itu juga. Hal yang utama adalah Amerika serikat harus bersiap-siap melakukan tindakan tegas.
Untuk sementara waktu, hal tersebut menawarkan alasan optimisme. Begitu juga dengan kekuatan dari emerging market terbesar, terutama China. Perekonomian negara ini tidak terpengaruh sebagaimana negara-negara lain terlihat berjatuhan. Pasar saham mereka terjun dan banyak mata uang telah turun tajam. Permintaan domestik di negara-negara emerging market melambat tetapi tidak kolaps. IMF berharap perekonomian negara-negara emerging market, yang dipimpin oleh China, untuk tetap tumbuh sebesar 6,9 persen pada 2008 dan 6,1 persen pada 2009. Hal itu akan menjadi bantal perekonomian dunia meski tidak akan menyelamatkannya dari resesi.
Perangsang lain datang dari terjunnya harga komoditas akhir-akhir ini, terutama minyak. Selama tahun pertama krisis keuangan, boom yang terjadi dalam harga komoditas yang telah terjadi selama lima tahun menjadi hal sangat mengejutkan. Dari awal tahun sampai juli, harga minyak naik hampir dua kali lipat. Indeks harga makanan melonjak sebesar 55 persen.
Kenaikan harga yang sangat besar ini mendorong kenaikan indeks harga konsumen di dunia. Rata-rata headline inflation pada bulan Juli telah melebihi 4 persen di negara-negara kaya dan hampir mencapai 9 persen di emerging economies, jauh melebihi target bank sentral. Inflasi yang tinggi dan terus menerus melonjak bersamaan dengan lemahnya keuangan menyebabkan bank sentral mengalami kebingungan dan menghadapi trade off yang berbahaya. Mereka dapat mengetatkan kebijakan moneter untuk menghindari dari inflasi yang lebih tinggi dan menjadi berurat akar (sebagaimana yang dilakukan ECB), atau mereka dapat memotong suku bunga untuk membantali lemahnya sisi financial (sebagaimana yang dilakukan The Fed). Dilema tersebut sekarang berakhir.
Hal tersebut terjadi karena turunnya harga komoditas secara tajam, indeks harga konsumen yang sempat mencapai puncaknya yang akan menimbulkan resiko inflasi telah mereda. Bila harga
minyak tetap pada level saat ini, indeks harga konsumen Amerika serikat mungkin saja
turun dibawah 1 persen pada pertengahan tahun ini. Kemudian pembuat kebijakan akan mulai segera mengkhawatirkan adanya deflasi.
Masalahnya terletak pada besarnya difisit neraca berjalan Amerika serikat yang bergantung pada pembiayaan luar negeri. Amerika Serikat memiliki keuntungan bahwa
mata uangnya yakni dolar adalah mata uang cadangan devisa tiap negara, dan sebagaimana kekacauan pasar finansial telah meluas, dolar akan menguat. Tetapi krisis kali ini juga menguji banyak fondasi dimana orang asing loyal terhadap dasar dolar, seperti jangkauan pemerintah yang terbatas dan pasar modal yang stabil. Bila orang asing melarikan dolar, maka amerika serikat akan mengalami dua mimpi buruk yang menghantui negara-negara emerging market dalam kehancuran pasar keuangan: secara simultan terjadi krisis mata uang dan perbankan. Utang amerika serikat, tidak seperti utang-utang negara emerging market, utang Amerika Serikat didenominasikan dalam bentuk mata uangnya sendiri, yaitu dolar. Tetapi kolapsnya dolar akan tetap menjadi sebuah bencana.
Apa yang akan menjadi efek jangka panjang dari kekacauan pasar finansial ini terhadap ekonomi dunia? Memprediksi konsekuensi dari krisis yang belum selesai adalah suatu yang bahaya. Tetapi sudah jelas bahwa, bahkan dalam ketiadaan bencana, arah globalisasi akan berubah. Dua dekade yang lalu pertumbuhan integrasi perekonomian dunia telah bersama-sama dengan semakin berkembangnya pengetahuan dari anglo-saxon kapitalisme pasar bebas, dengan amerika serikat sebagai cheerleadernya.
Pembebasan aliran perdagangan dan modal juga deregulasi industri domestik dan keuangan telah menyebabkan pesatnya perkembangan globalisasi. Integrasi global, dalam jumlah besar, telah menyebabkan kemenangan pasar atas pemerintah. Proses ini sekarang berbalik menjadi 3 jalan yang berbeda.
Pertama, keuangan negara-negara barat akan diregulasi. Pada tingkat minimalnya, wilayah yang paling bebas di keuangan modern, seperti 55 triliun US dolar untuk derivasi kredit akan diatur. Peraturan akan modal akan diperiksa secara seksama untuk menurunkan solvabilitas dan meningkatkan daya rentang sistem. Overlaping dari pembuat peraturan akan diatur kembali. Seberapa besar kontrol yang akan dikenakan akan kurang bergantung kepada ideologi daripada parahnya penurunan ekonomi.
Yang kedua, keseimbangan antara negara dan pasar berubah dalam wilayah selain keuangan. Untuk kebanyakan negara, shock yang sangat penting dalam beberapa tahun yang lalu adalah naiknya harga komoditi secara besar-besaran, dimana politisi juga disalahkan karena adanya spekulasi keuangan. Naiknya harga makanan di akhir 2007 dan awal 2008 telah menyebabkan adanya pemberontakan di 30 negara. Untuk meresponsnya, pemerintah di negara-negara emerging market memperluas jangkauannya, menaikan subsidi, memperbaiki harga, melarang expor dari komoditas penting, bahkan pada kasus india, pemerintahnya melarang perdagangan future.
Ketiga, Amerika serikat kehilangan pengaruh ekonomi dan wewenang intelektual.
Sebagaimana negara-negera yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat membentuk arah dari perdagangan global, sehingga mereka akan meningkatkan bentuk keuangan masa depan. Seperti China yang merupakan negara kaya kapital dan mudah dalam member kredit. Deleveraging dalam perekonomian barat akan sedikit tidak terlalu terasa bila savings di negara-negara asia yang kaya dan negara pengekspor minyak menyuntikan dananya.
Rentetan efek domino pun masih berlanjut dengan hancurnya Washington Mutual (WaMu). WaMu ditutup setelah nasabah menarik dana besar-besaran sejak 15 September lalu atau sejak Lehman Brothers mengalami kebangkrutan. Penarikan dana mencapai 16,7 miliar dollar AS. Bahkan, di eropa pun krisis keuangan AS mengimbas ke Amsterdam (Belanda) dan Brussels (Belgia), di mana Fortis NV, jasa keuangan Belanda-Belgia, harus menepis rumor. Bank Sentral Belanda telah memerintahkan bank pesaing Fortis untuk mendukung pendanaan bank tersebut. Fortis, yang juga terjebak pinjaman pada perumahan AS, mengalami penurunan harga saham 21 persen, terendah dalam 14 tahun terakhir.
Jatuhnya WaMu seakan menjadi pembenaran bahwa krisis finansial ini semakin memburuk. Akibatnya, pasar saham di Asia, Eropa, dan AS, anjlok lagi. Belum jelasnya
nasib rancangan penyelamatan yang diajukan oleh pemerintahan Bush juga menambah suram pasar finansial di seluruh penjuru dunia. Krisis kepercayaan telah merepotkan lembaga keuangan. Untuk mengatasi kekeringan likuiditas di perbankan, bank-bank sentral di beberapa negara menambah pasokan likuiditas ke sektor perbankan.
PKL Capai 9.710
Berdasarkan pendataan Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), jumlah pedagang kaki lima (PKL) di Kota Bogor mencapai angka 9.710. Jumlah ini menurun dibandingkan pendataan pada 2005 dengan jumlah mencapai 10 ribu PKL. Para PKL yang terdata ini merupakan pedagang yang beroperasi di 14 lokasi yang tersebar di enam kecamatan yang ditentukan pemkot. Kepala Kantor KUKM Kota Bogor, mengatakan jumlah ini merupakan hasil survei yang dilakukan pihaknya melalui pihak ketiga sebagai penanggung jawab lapangan. “Sebenarnya data ini sudah ada sejak awal januari. Tapi karena masih pembahasan di pemkot, makannya baru bisa dipublikasikan,”.
Dia mengatakan, sebagai program susulan, pihaknya akan mengadakan pelatihan dan pembinaan kepada PKL yang sudah terdata. “Karena permasalahan PKL adalah bahasan tim, yang terdiri atas SKPD terkait, seperti Dinas Pengawasan Bangunan dan Pemukiman, Dinas Bina Marga dan Satpol PP. Sementara porsi kami (KUKM) di tim ini hanya sebatas pendataan dan pembinaan PKL. Sementara itu, Kasi PKL Kantor KUKM Kota Bogor, mengatakan pembahasan mengenai PKL sudah rampung. Hanya, belum bisa diumumkan karena harus menunggu keputusan walikota. “Pada rapat pembahasan empat skala prioritas, pembahasan PKL memang termasuk lama, tapi semuanya sudah selesai. Tim yang terdiri atas SKPD terkait pun sudah memberikan laporannya. Hanya tunggu kapan bisa dipublikasikan secara keseluruhan,”.
Dia mengatakan, sebagai program susulan, pihaknya akan mengadakan pelatihan dan pembinaan kepada PKL yang sudah terdata. “Karena permasalahan PKL adalah bahasan tim, yang terdiri atas SKPD terkait, seperti Dinas Pengawasan Bangunan dan Pemukiman, Dinas Bina Marga dan Satpol PP. Sementara porsi kami (KUKM) di tim ini hanya sebatas pendataan dan pembinaan PKL. Sementara itu, Kasi PKL Kantor KUKM Kota Bogor, mengatakan pembahasan mengenai PKL sudah rampung. Hanya, belum bisa diumumkan karena harus menunggu keputusan walikota. “Pada rapat pembahasan empat skala prioritas, pembahasan PKL memang termasuk lama, tapi semuanya sudah selesai. Tim yang terdiri atas SKPD terkait pun sudah memberikan laporannya. Hanya tunggu kapan bisa dipublikasikan secara keseluruhan,”.
Disperindag Takut Tindak Pasar Modern
Banyaknya pasar modern yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2005 karena beroperasi selama 24 jam mendapat tanggapan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag), Mantan kepala Bappeda itu mengatakan, pasar modern boleh-boleh saja beroperasi 24 jam dengan catatan, pasar modern itu merupakan penyedia makanan dan obat-obatan. “Nah, sebenarnya disini yang perlu ditekankan. Dalam perda tersebut tidak dijelaskan terperinci mengenai karakteristik pasar modern yang tidak boleh beroperasi 24 jam,”. Dengan begitu, pihaknya mengaku tak bisa secara tegas menindak pasar modern seperti supermarket atau minimarket yang saat ini masih beroperasi 24 jam. “Kalau dalam perdanya saja tidak ada penjelasan mengenai karakteristik, bagaimana mau menindak. Karena itu, menurut saya perda ini mungkin bisa diajukan untuk revisi tahun depan,”.
Menurutnya tak menutup kemungkinan pasar modern yang saat ini berooperasi akan berdalih menjual produk makanan dan obat-obatan sehingga bisa beroperasi selama 24 jam. “Kalau sudah jelas mana yang boleh dan tidak, pasti kami akan bertindak tegas,”. Pendapat berbeda dikatakan Dirut PD Pasar Pakuanjaya, menurut dia, yang bisa beroperasi 24 jam hanya pasar tradisional. Tentang pasar modern, Dia menuturkan harus ada pengkajian dari segi perizinan. “Kalau di perda sudah ada larangan, mungkin ada poin pada perizinan yang bisa dikaji sehingga operasionalnya boleh 24 jam,”.
Dalam perizinan, sambungnya, biasanya ada batasan untuk jam operasional. Jika memang ada pelanggaran, tempat tersebut harus menyesuaikan dengan perda yang berlaku. “Karena yang menjadi acuan adalah perda. Kalau ada pelanggaran, itu sudah jadi tanggung jawab aparatur terkait untuk menertibkan,”.
Menurutnya tak menutup kemungkinan pasar modern yang saat ini berooperasi akan berdalih menjual produk makanan dan obat-obatan sehingga bisa beroperasi selama 24 jam. “Kalau sudah jelas mana yang boleh dan tidak, pasti kami akan bertindak tegas,”. Pendapat berbeda dikatakan Dirut PD Pasar Pakuanjaya, menurut dia, yang bisa beroperasi 24 jam hanya pasar tradisional. Tentang pasar modern, Dia menuturkan harus ada pengkajian dari segi perizinan. “Kalau di perda sudah ada larangan, mungkin ada poin pada perizinan yang bisa dikaji sehingga operasionalnya boleh 24 jam,”.
Dalam perizinan, sambungnya, biasanya ada batasan untuk jam operasional. Jika memang ada pelanggaran, tempat tersebut harus menyesuaikan dengan perda yang berlaku. “Karena yang menjadi acuan adalah perda. Kalau ada pelanggaran, itu sudah jadi tanggung jawab aparatur terkait untuk menertibkan,”.
UKM Serap 58 Ribu Tenaga Kerja
Bank Jabar Banten harus lebih berpihak kepada usaha kecil dan menengah (UKM). Pasalnya, peranan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat besar dalam mendukung stabilitas perekonomian nasional, tak terkecuali di Kota Bogor. “Buktinya 99,98 % pelaku ekonomi di Indonesia adalah kelompok UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja. Di kota Bogor, sector UMKM menyerap 58.249 tenaga kerja,”. Potensi UKM dapat dilihat dari jumlah pelaku usahanya yang relative banyak, kemampuannya menunjang kegiatan kepariwisataan dan juga kontribusi yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja, Dari segi UMKM misalnya, sampai akhir 2010, jumlah yang masuk pembinaan Pemerintahan Kota Bogor mencapai 32.901 UMKM. Sedangkan dari jumlah asset atau investasi capaian UMKM 2010 berkisar pada Rp 575 miliar. Karena itu, sekdakot mengajak seluruh jajaran direksi dan karyawan Bank Jabar Cabang Bogor untuk turut memberikan perhatian lebih kepada UMKM di Kota Bogor.
Langganan:
Postingan (Atom)