Minggu, 27 Februari 2011

Dampak Krisis Ekonomi Global kepada Industri di Indonesia

Semenjak SBY memimpin Indonesia baik Kurs Rupiah maupun IHSG terlihat Stabil. Namun terjadinya krisis financial global membuat pemerintah dan beberapa departemen di Indonesia mengeluarkan beberapa langkah antisipasi. Kepanikan investor yang membuat jatuhnya indeks saham sampai level 1400 membuat BEI dan pemerintah melakukan suspensi atas aktivitas perdagangan di bursa.

Namun tampaknya intervensi yang telah dilakukan pemerintah pun belum berhasil untuk menahan nilai kurs rupiah, bahkan pada 10 oktober 2008 kemarin dolar sempat
menembus Rp. 10.650,-. Kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga menjadi 9,5% ternyata belum mampu menahan gejolak dan tekanan krisis. Terjadinya krisis ini mau tidak mau sangat berpengaruh terhadap usaha bisnis yang ada di Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan investasi seperti pembiayaan, asuransi, bank, properti dan industri yang terkait dengan ekspor.

Untuk bisnis pembiayaan sendiri, keringnya likuiditas di pasar akan sangat menghambat industri multifinance untuk mengembangkan pembiayaannya sehingga
pertumbuhan sampai akhir tahun ini diprediksi 10-20%. industri pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing, dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank dan sebagian kecil dari pinjaman langsung lainnya dalam negeri dan asing.

Sulitnya mendapatkan funding dari bank dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kredit baru yang memiliki beban suku bunga pembiayaan lebih tinggi menyesuaikan dengan naiknya biaya dana. Tingginya suku bunga yang ditetapkan BI
dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pembiayaan, yakni potensi naiknya pembiayaan macet menjadi lebih besar meski kucuran pembiayaan dilakukan dengan sangat hati-hati.

Kerena itu para pelaku bisnis di pembiayaan ini harus mencari sumber dana lain. Jika melalui bank local sulit mendapatkan dana, maka segera ekspansi untuk menggaet mitra bank asing yang memiliki likuiditas yang tinggi. Pemerintah harusnya juga menciptakan iklim yang kondusif untuk bisnis pembiayaan ini, misalnya dengan membuka kesempatan kepada multifinance mendapat dana dari industri asuransi atau dana pensiun sehingga tak hanya mengandalkan dana dari bank ataupun obligasi. Di samping itu, perlu juga dibuat aturan mengenai kepemilikan asing dalam lembaga pembiayaan.

Sama halnya dengan industri asuransi, jatuhnya saham domestik ini berpotensi negetif terhadap pemegang polis asuransi unit link. Walaupun untungnya, unit link menempatkan dananya di saham masih sedikit apabila dibandingkan dengan fix income, namun saat ini perusahaan asuransi harus mulai untuk melihat potensi atau peluang investasi di sektor riil. Memang investasi di sektor ini membuat asset kurang liquid, akan tetapi dalam jangka panjang, investasi sektor riil yang dikelola secara hati hati akan menjadi salah satu alternatif pendapatan yang menjanjikan untuk industri asuransi.

Begitu juga dengan industri yang mengekspor barang hasil produksinya. Amerika serikat Serikat adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia setelah Jepang yang menyerap 12, 5 persen dari total nilai ekspor. Pada Januari-Agustus 2008, AS menyerap 8,5 milliar dollar AS atau 11, 58 persen dari total nilai ekspor nonmigas indonesia yang mencapai 73,54 milliar dolar AS. Penyerapan pasar AS bukan saja penting karena besarnya pangsa pasar negara tersebut. Komposisi produk ekspor indonesia ke AS juga bernilai penting karena ditopang oleh industri manufaktur dan pertanian yang menjadi gantungan hajat hidup rakyat banyak.

Selama ini sekitar 43 persen dari total ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) indonesia diserap AS. Hampir 60% dari total ekspor alas kaki indonesia juga dipesan pemegang merek dari AS. Mereka juga menyerap 37 persen ekspor produk perikanan di Indonesia. Padahal TPT dan alas kaki adalah gambaran dari subsektor yang paling diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. Sementara di sektor pertanian, kinerja ekspor
lebih banyak ditopang produk ikan dan udang daripada hasil budidaya tanaman pangan.

Menanggapi Berbagai gejolak eksternal tersebut jelas merupakan tantangan bagi Indonesia. Miranda S.Goeltom, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FEUI, mengatakan bahwa indahnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak ataupun nilai tukar. Ia menawarkan model koordinasi “Leader-follower”. Artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makroekonomi.

Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter perlu menjadi leader dengan membuat berbagai upaya dalam melaklukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedang otoritas fiskal menjadi follower, dengan mempersiapkan Jaring Pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari resiko sistemik di sektor finansial. Hanya saja, sekarang ini dibutuhkan tidak hanya policy mix makro, namun koordinasi kebijakan pada lingkungan metaekonomi.

Lingkungan meta ini mencakup antisipasi terhadap natural disruption, sektoral, dan daerah. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security.

Koordinasi lintas sektor dan daerah amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan melibatkan 485 kabupaten/kota serta 33 provinsi. Apalagi akan diadakan pilkada di 15 provinsi dan 85 kabupaten/kota pada tahun ini. Ibarat lagu, lagu yang dimainkan berbagai macam. Ada keroncong, rock, jazz, gamelan, dan dangdut, dengan pemain dan penonton yang berbeda karakter dan perilaku. Inilah pentingnya “sang pemimpin” menjadi dirigen suatu orkestra kebijakan makro, sektoral, dan daerah.

Bagaimana langkah awal untuk mengantisipasi kondisi ini? Pertama, meningkatkan kinerja sektor riil sebagai penunjang fundamental ekonomi. Harus kita akui bahwa kinerja fundamental perekonomian kita beberapa tahun belakangan ini bukanlah disebabkan oleh peningkatan sektor riil, seperti peningkatan daya saing, kenaikan produktivitas, dan investasi sektor riil, tetapi lebih disebabkan pengaruh fluktuasi harga komoditas dan kinerja sektor keuangan.

Sementara itu jika kita telaah lebih lanjut, tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia semakin meningkat, tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (paradox of growth). Ini menandakan fundamental perekonomian kita artifisial dan semu. Fundamental perekonomian yang rapuh menciptakan ekspektasi negatif buat investor
karena mencerminkan kondisi ketidakpastian.

Menjelang Pemilu 2009 tentunya meningkatkan eskalasi dan dinamika politik di Indonesia. Stabilnya politik dan keamanan menjadi pertimbangan utama investor dalam melakukan alokasi dan distribusi portofolionya. Apabila stabilitas polkam menjelang pemilu terkendali, lalu hasil pelaksanaan pemilu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat diterima oleh pasar, akhirnya meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas pasar modal Indonesia.

Ketiga, regulasi yang market friendly. Pihak regulator harus selalu menciptakan kebijakan yang market friendly terhadap pasar, yaitu kebijakan yang dapat mengakomodasi keuntungan investor dengan tidak mengesampingkan kepentingan investor minoritas.

Regulasi yang market friendly akan memberikan kenyamanan bagi investor untuk berinvestasi dengan horizon waktu jangka panjang. Investor melakukan investasi dasarnya adalah ekspektasi atas tingkat keuntungan/pengembalian dan tingkat risiko investasi.

Dengan struktur perekonomian yang kuat, keamanan berinvestasi dan regulasi yang market friendly akan meningkatkan ekspektasi investor pada pasar modal Indonesia. Momentum krisis keuangan AS ini merupakan kesempatan untuk mengubah persepsi pasar modal Indonesia sebagai pasar modal dengan karakter high risk high return menjadi karakter pasar modal yang dapat memberikan harapan tingkat keuntungan
(expected return) yang optimal dengan tingkat risiko investasi yang minimum sehingga
bisa menarik modal masuk.

Sejumlah pakar ekonom mengatakan bahwa di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak akan mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil karena bursa di Indonesia hanya membawa pengaruh 20% dari ekonomi Indonesia. Selain itu krisis pasar modal seperti ini tidak akan kembali mengulang seperti krisis pada tahun 1997 karena depresisasi rupiah padah tahun itu adalah 100% dengan inflasi 20% NPL perbankan 60% dan SBI 50%. Gejolak ekonomi yang terjadi saat ini hanya mendepresiasi rupiah sebesar 5%, inflasi 12,14% NPL perbankan 1% dan SBI 9,5%.

Namun Gejolak ini akan membawa kepada krisis atau tidak, kita harus selalu percaya bahwa krisis adalah peluang untuk memasuki era baru yang lebih baik. Semoga dunia bisa keluar dari krisis ini dengan situasi yang lebih baik. Dan semoga ekonom pemerintah Indonesia sudah pasang kuda-kuda melindungi ekonomi indonesia dari krisis ini. Kalau tidak, siap-siap tabungan kita semua di bank, hasil keringat kita bertahun-tahun, hilang dan menguap dalam krisis. Kita menjadi korban sistem ekonomi yang mengandalkan financial engineering bukan sistem yang berbasis sektor riil dan
entrepreneurial.

Kebijakan BI dalam menghadapi krisis global

Tingginya inflasi ini masih akan berlangsung hingga paruh ke dua tahun 2009. BI menyikapi tingginya inflasi dengan menaikkan suku bunga secara bertahap sebesar 25 basis point per bulan yang kini pada tingkatan 9,5 persen. Dengan perkiraan inflasi pada tahun 2009 sekitar 6,5-7,5 persen tingkat BI Rate ini dianggap memadai.

Upaya untuk mengatasi ketatnya likuiditas di satu sisi dan tingginya inflasi di sisi lain tampaknya saling bertentangan. Untuk melawan inflasi dibutuhkan kebijakan uang ketat, sedangkan untuk mengatasi persoalan ketatnya likuiditas di perbankan dibutuhkan aliran dana ke dalam perekonomian. Tampaknya BI dan pemerintah berupaya melakukan kebijakan bersifat hibrid, yaitu mengurangi tekanan likuiditas dengan berupaya mengendalikan inflasi, paling tidak dalam enam bulan ke depan saat inflasi masih tinggi.

Hasilnya tentu tidak optimal, tetapi dalam situasi penuh ketidakpastian, amat sulit menerapkan kebijakan optimal. Saat ini, perbankan Indonesia sedang dalam proses ekapansi dalam menyalurkan kredit. Kecenderungan ini akan terus berlangsung karena LDR (rasio kredit terhadap deposito) meski mengalami peningkatan besar, tetapi masih ada di bawah 80 persen.

Bandingkan dengan LDR Thailand yang mendekati 100 persen dan Korea Selatan yang telah melampaui 100 persen. Memang aliran kredit perbankan terbatas kredit investasi karena tingginya risiko dan lebih besar pada kredit konsumsi dan modal kerja. Bagi bank-bank papan atas, mereka tampaknya enggan memanfaatkan fasilitas repo BI, terutama terkait reputasi. Mereka tidak mau mendapatkan kesan kesulitan dana dengan
memanfaatkan fasilitas BI. Bank-bank itu cenderung mendapatkan dana dari masyarakat atau pasar uang antarbank meski bunganya tinggi selama mereka dapat menyalurkan kredit dengan marjin tertentu. Kemungkinan pertumbuhan kredit akan melambat sesuai pertumbuhan dana pihak ketiga. Namun, kecenderungan pertumbuhan kredit masih akan tetap tinggi karena perbankan dalam kondisi ekspansif.

Dari sisi kebijakan moneter dan supervisi perbankan selain membuka akses lebih besar pada likuiditas, kepercayaan antarlembaga keuangan khususnya antarbank harus tetap
dijaga baik guna mencegah persoalan credit crunch, seperti di AS dan Eropa. Dengan rasio permodalan yang cukup baik dan tidak terkait masalah produk keuangan dari lembaga keuangan yang gagal di AS, seharusnya perbankan di Indonesia masih dapat berfungsi optimal meski menghadapi tekanan permasalahan likuiditas.



Dampak Kepada Sektor Finansial

Krisis Keuangan ini juga berdampak pada aktivitas pasar modal global. Perkembangan indeks bursa saham di beberapa bursa dunia yang sebelumnya menunjukkan kinerja yang outperform terkoreksi turun sampai dengan level yang tidak diperkirakan. Jika dibandingkan dengan awal tahun 2008, Indeks bursa Shanghai telah turun sebesar 64
persen, Kuala Lumpur Composite Index sebesar 34 persen.

Begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia per tanggal 16 September 2008 menyentuh level terendah 1.719,254, terkoreksi 39,3 persen dihitung dari level IHSG tertinggi 9 Januari 2008 di level 2.830,260. Kerugian langsung mungkin hanya dialami sebagian kecil investor yang memiliki eksposure atas aset-aset yang terkait langsung dengan lembaga-lembaga keuangan AS yang bermasalah.

Dengan kondisi fundamental Indonesia saat ini, sebenarnya tidak ada alasan bagi investor untuk melakukan rasionalisasi portofolionya. Melemahnya IHSG akibat sentiment global krisis keuangan AS sebenarnya memberikan hikmah positif karena tanpa kita sadari kinerja IHSG selama ini relatif overvalued. Turunnya IHSG ke level saat ini lebih mewakili kondisi fundamental yang sebenarnya (priced-in). Meski level IHSG saat ini belum dipastikan merupakan level equilibrium baru, tetapi dengan kondisi fundamental yangperform akan menahan aksi spekulasi yang mendorong IHSG terkoreksi lebih dalam.

Dengan tingkat likuiditas global saat ini yang relatif masih sangat tinggi, diperkirakan tujuan investasi investor akan ditujukan ke berbagai bursa-bursa emerging market yang dapat memberikan potensi tingkat pengembalian/imbal hasil (expected return) yang menarik bagi investor, tak terkecuali Indonesia. Inilah sebenarnya berkah terselubung krisis keuangan AS untuk pasar modal Indonesia.

Tidak bisa kita mungkiri bahwa investor pasar modal Indonesia saat ini masih didominasi investor asing. Berdasarkan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per tanggal 31 Juli 2008 kepemilikan saham investor Asing di Bursa Efek Indonesia sebesar 64 persen, sisanya 36 persen adalah kepemilikan saham oleh investor lokal. Peran investor asing ini di satu sisi membawa dampak positif meningkatkan likuiditas berupa aliran modal masuk (capital inflow), tetapi di sisi yang lain merupakan ancaman instabilitas pasar ketika investor asing ini keluar dan menarik modalnya (capital outflow) secara massif dan tiba-tiba.

Sampai saat ini di pasar modal Indonesia belum mengindikasikan adanya capital outflow secara besar-besaran sebagai dampak dari krisis keuangan AS. Namun demikian, kita harus mewaspadai kemungkinan terjadinya penarikan modal investor asing secara besar-besaran. Ketidakpastian perekonomian global sebagai dampak dari krisis keuangan AS masih dominan dan memberikan peluang terjadinya capital outflow secara besar-besaran di pasar modal Indonesia.

Dampak Krisis Keuangan Global Bagi Indonesia

Harga minyak dunia yang sempat menembus US$ 147 per barrel yang menyebabkan harga pangan melejit tinggi dan jatuhnya bank-bank raksasa di seluruh dunia menunjukkan terjadinya kebangkrutan kredit global yang pada gilirannya bisa mengarah kepada terjadinya resesi ekonomi. Agustus 2008 ini terulang kembali ledakan gelombang ekonomi di pasar perusmahan AS sebagai akibat dari subprime mortgage yang terjadi tahun lalu. Krisis ini terancam berakhir dengan depresi ekonomi yang mendunia. Depresi ini diperkirakan akan menghentikan pertumbuhan kesejahteraan dan lapangan kerja dalam perekonomian Barat selama kira-kira lebih dari satu dekade. Bangkrutnya Northern Rock di Inggris, Bear Sterns di Amerika serikat (AS), menyebabkan kian muramnya perekonomian dunia.

Bulan september 2008 adalah bulan dimana perusahaan-perusahaan terbesar di dunia ambruk. Tanggal 7 September, perusahaan prekreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac , yang memberi garansi utang senilai 5,3 trilyun dolar, yang meliputi separuh lebih dari utang perkreditan rumah di AS, pun ambruk. Pemerintah AS akhirnya terpaksa menyelematkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 bilyun dolar. Dua perusahaan tersebut ambruk karena berani memberikan utang kepada orang-orang yang beresiko tinggi dalam masa-masa kejayaan ekonomi. Disusul kemudian beria yang menggemparkan dunia finansial adalah bangkrutnya salah satu Bank Investasi terbesar di pusat keuangan Wall Street di New York AS. Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar memasukkan permohonan status bangkrut pada tanggal 15 September 2008. Inilah akhir nasib suatu bank besar dan tertua yang berdiri di negara bagian Alabama tahun 1844 dan jatuh begitu saja– padahal di tahun 2007 Lehman masih melaporkan jumlah penjualan sebesar 57 bilyun dolar dan di bulan Maret lalu masih sempat dinyatakan oleh majalah Business Week sebagai salah satu dari 50 perusahaan papan atas di tahun 2008. Namun kini, Lehman bernilai tidak lebih dari cuma 2 bilyun dolar saja.

Perusahaan investasi lain seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street, pun mengemis untuk segera diambil alih oleh saingannya sendiri, yaitu Bank of America. Dan AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar juga memohon untuk disuntikkan dana darurat sebesar 40 bilyun dolar dari pemerintah AS
untuk menghindari kebangkrutan total. Rentetan peristiwa ini dirangkum oleh majalah Wall Street Journal dengan kata-kata,” Sistem keuangan Amerika serikat terguncang hingga ke pusarnya”. Alan Greenspan, mantan kepala Bank Sentral AS, menyebut krisis keuangan dunia saat ini sebagai kejadian yang terjadi sekali dalam 100 tahun. Bangkrutnya lehman brothers tercatat sebagai kebangkrutan terbesar dalam sejarah korporasi AS. Perusahaan asuransi terbesar, AIG, juga di ambang ambruk.

Krisis Ekonomi Global

Perkembangan mutakhir ekonomi global yang dilaporkan IMF dan Bank Dunia pada akhir Desember 2008, menunjukkan kondisi krisis ekonomi yang kita hadapi ke depan sudah sangat serius. Krisis yang sedang dihadapi AS dan negara-negara maju lain dapat dikatakan sudah sistemik karena yang diserang sektor keuangan, yang notabene merupakan jantung perekonomian yang berfungsi mentransmisikan darah ke seluruh tubuh perekonomian dunia.

Akibatnya, sebagian terbesar sistem keuangan berbasis pasar keuangan mengalami malfunction (lumpuh). Untunglah, struktur keuangan kita masih berbasis perbankan tradisional atau masih berada pada tahapan good ild banking system dalam arti sektor keuangan kita masih didominasi perbankan (80%) dan pasar modal masih dalam tahap berkembang. Struktur dan sistem keuangan yang masih berkembang dan karena itu masih originate and retain membuat perekonomian kita tidak terlalu terkait dengan perekonomian AS dan sektor keuangan AS, Kanada, Eropa (Jerman, Inggris, Prancis, Italia), Jepang, dan Australia yang pada umumnya berbasiskan pasar keuangan.

Dengan demikian, sejauh ini gelombang pertama krisis keuangan global baru sempat berdampak sangat buruk terhadap pasar-pasar keuangan dan bursa efek kita yang memang memiliki exposure terhadap struktur keuangan AS. Dewasa ini, perekonomian negara-negara maju di AS dan Kanada, Eropa, Australia, dan Jepang sedang melambat dan sudah resmi memasuki resesi karena selama satu semester terakhir berbagai indikator ekonomi menunjukkan pertumbuhan ekonomi di negaranegara tersebut sudah melambat. Hasil prediksi mutakhir berbagai lembaga kajian ekonomi internasional tentang perdagangan global menunjukkan untuk pertama kali sejak tahun 1982, perdagangan global selama tahun 2009 diperkirakan mengalami kontraksi sehingga berpotensi mengganggu kinerja ekspor dan impor semua negara. Investasi asing dan arus likuiditas jangka pendek mengering, dan pasar saham dan nilai tukar mata uang banyak Negara kolaps, inflasi di sejumlah negara melonjak.

Rencana-rencana tanggap darurat yang lebih credible (dibanding dengan pendekatan piecemeal yang telah dilakukan setiap negara) dan telah dikoordinasikan secara internasional oleh para pemimpin ekonomi dunia sepanjang Oktober 2008 sampai kini terbukti gagal mencegah penyebaran krisis. Kini secara bersama-sama, semua Negara sedang memberikan berbagai respons dan langkah antisipatif untuk mengatasi dampak krisis ekonomi dan memulihkan kepercayaan pada pasar-pasar keuangan dan menjaganya dari keruntuhan lebih lanjut.

Langkah-langkah tersebut dimulai dari perbaikan atas lanskap keuangan dunia, penyediaan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk merekapitalisasi bank-bank, penyediaan blanket guarantee terhadap simpanan bank dan berbagai aset keuangan lainnya, dan mem-bailout sektor perekonomian, mulai perbankan, keuangan, manufaktur, jasa, produsen, hingga konsumen. Secara sendiri-sendiri, setiap pemerintah di negaranegara maju dan berkembang telah berkoordinasi mengenai fiskal dan moneter untuk mengimplementasikan berbagai paket stimulus untuk mencegah agar krisis ekonomi global tidak menjerumuskan ekonomi negara ke dalam resesi besar. Ibarat virus, krisis ini dengan cepat menyebar ke seluruh sektor sehingga ekonomi AS dan negara-negara maju lain diperkirakan baru akan mulai bangkit kembali secara gradual pada 2010.